Oleh Yanuardi Syukur

“Dan Dia menjadikan gunung-gunung yang teguh di bumi, supaya bumi itu tidak goncang bersama kamu, dan sungguh Dia telah menciptakan di dalamnya sungai-sungai dan jalan-jalan, supaya kamu mendapat petunjuk.” –QS. An-Nahl (16:15)

Kemarin saya berkunjung ke Kawah Ijen, sebuah kawah vulkanik yang terletak di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, Indonesia. Kawah ini terkenal karena fenomena api biru (blue fire) yang muncul dari letusan gas belerang yang terbakar di dalamnya, serta adanya danau asam dengan air berwarna hijau kebiruan.

Secara geologis, Kawah Ijen terbentuk akibat aktivitas gunung berapi. Gunung Ijen adalah gunung berapi aktif yang memiliki ketinggian sekitar 2.799 meter di atas permukaan laut. Kawah ini terbentuk oleh letusan gunung berapi yang terjadi ribuan tahun yang lalu.

Sejarah Kawah Ijen tidak memiliki catatan tertulis yang spesifik. Namun, keberadaan kawah ini telah dikenal oleh masyarakat setempat sejak lama dan digunakan untuk kegiatan pertambangan belerang. Pertambangan belerang di Kawah Ijen dimulai pada abad ke-19, saat pemerintah kolonial Belanda mengelola wilayah ini.

Pada awalnya, pertambangan belerang dilakukan secara tradisional oleh masyarakat lokal dengan cara mengumpulkan belerang yang sudah mengendap di dasar kawah. Namun, pada tahun 1968, sebuah perusahaan pertambangan negara didirikan untuk mengelola aktivitas pertambangan belerang secara lebih terorganisir dan besar skala.

Aktivitas pertambangan di Kawah Ijen dilakukan dengan cara menggali belerang padat yang terdapat di sekitar kawah. Belerang tersebut kemudian diangkut keluar dari kawah oleh para penambang menggunakan keranjang atau karung yang diikatkan di punggung mereka. Proses pengangkutan belerang yang berat dan melelahkan ini masih dilakukan hingga saat ini oleh para penambang tradisional.

Bagi mereka yang hendak naik dan butuh bantuan, maka di bawah telah ada kendaraan yang didorong tenaga manusia. Mereka sebutnya ‘ojek’ atau ‘taksi’. Kalau naik membutuhkan 2 orang (1 menarik, 1 mendorong dan rem). Untuk turun hanya butuh 1 orang. Ongkosnya bervariasi, naik dan turun bisa 800ribu, turunnya bisa 300ribu atau 200ribu.

Umumnya, sopir ‘taksi’ itu adalah penambang belerang. Seorang dari mereka bercerita, bahwa di situ ada sekitar 150 taksi. Mereka mulai kerja di atas jam 12 malam, karena akses dibuka jam tersebut. “Ini sudah tiga hari ini saya belum dapat,” kata salah seorang sopir, lelaki beranak dua.

Selain sebagai tempat pertambangan belerang, Kawah Ijen juga menjadi objek wisata alam yang populer. Setiap tahun, ribuan wisatawan lokal maupun mancanegara datang untuk menyaksikan keindahan alam dan fenomena api biru yang terkenal di kawah ini. Pengunjung juga dapat melakukan pendakian ke puncak Gunung Ijen untuk menikmati pemandangan yang spektakuler.

Meskipun aktivitas pertambangan belerang di Kawah Ijen memberikan mata pencaharian bagi masyarakat sekitar, namun dampak lingkungan dan kesehatan yang ditimbulkan cukup besar. Asap beracun dari belerang yang terbakar dan gas belerang di kawah dapat membahayakan kesehatan para penambang. Oleh karena itu, upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan dan kesehatan para penambang terus dilakukan, termasuk dengan pengaturan jam kerja, penggunaan masker, dan peningkatan kesadaran akan pentingnya keselamatan. Saat mau naik, kami disediakan satu masker agak besar. Buat jaga-jaga jika ada asap.

Di Kawah Ijen saya merenungkan beberapa hal.

1. Kenikmatan hidup ada pada perjuangan. Jika melihat Kawah Ijen adalah kenikmatan maka kesulitan perjalanan naik itu adalah perjuangan. Bahwa mendapatkan yang nikmat butuh perjuangan. Dalam banyak hal, sesuatu menjadi terasa nikmat saat kita dapatkan dari perjuangan.

2. Perjuangan butuh siasat. Saat mendaki kita butuh siasat, bagaimana agar nafas diatur sedemikian rupa, kapan waktu yang tepat untuk mendaki, atau kapan untuk berhenti. Di beberapa pos ada tempat istirahat; bahkan ada tempat untuk sekadar beli makanan ringan, ngopi atau ngeteh. Saat sempat ngeteh dulu di tengah perjalanan. Ya, sekadar menyiasati diri agar perjalanan tetap nikmat.

3. Semua orang harus mengenal dirinya sendiri. Saat mendaki kita harus tahu apa kelebihan dan kekurangan kita. Seorang sopir ‘taksi’ cerita, bahwa jarang bule yang naik ‘taksi’ mereka, karena bule-bule lebih senang jalan kaki, dan mereka cenderung cepat jalannya. “Tapi orang Malaysia biasa naik ‘taksi’,” lanjut beliau selain orang kita. Karena ini perjuangan, maka kita harus tahu kapan berjalan, beristirahat, atau bahkan butuh bantuan ‘taksi’.

4. Kesuksesan butuh proses. Api biru yang muncul saat gelap terlahir dari proses. Keindahan Kawah Ijen secara umum yang dikelilingi beberapa gunung juga proses. Jika kita menyebut sesuatu itu indah maka yakinlah bahwa keindahan itu pasti terlahir dari proses. Maka, untuk mencapai keindahan, keberhasilan atau kesuksesan kita butuh proses.

Apa yang Allah tunjukkan kepada kita melalui Kawah Ijen itu adalah satu dari kebesaran-Nya. Sebagai manusia kita ambil inspirasi dari situ, kemudian kita jadikan pedoman dalam menjalani kehidupan.

Banyuwangi, 19 Juli 2023

LEAVE A REPLY