INDONESIADAILY.ID – Margaretha Hanitha, Dosen Kajian Ketahanan Nasional Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia, menyatakan persoalan persoalan di Papua bukan hanya soal dana, namun juga harus diselesaikan secara terbuka melalui dialog dengan orang asli Papua.
“Persoalan otsus Papua bukan hanya soal dana. Saat ini semua setiap kali bicara otsus itu selalu soal dana, mohon maaf bapak saya agak kurang setuju,” ujar Margaretha dalam simposium nasional secara daring, Senin (10/5).
Menurut Margaretha, Otonomi Khusus bagi masyarakat Papua belum mewujudkan rasa keadilan bagi Papua. Ia meminta semua pihak untuk tidak bergantung pada sistem pendanaan bagi daerah Papua.
Garis pokok otsus terdapat lima poin. Pertama, pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah provinsi Papua. Papua diberi kewenangan luas dalam sistem pemerintahan yang khusus, kecuali hubungan luar negeri, pertahanan keamanan, kekuasaan kehakiman, sistem moneter, dan fiskal.
Kedua, pembagian kewenangan dalam provinsi Papua. Legislatifnya dibagi dalam dua kamar, yakni Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP).
Ketiga, perlindungan hak-hak adat penduduk asli Papua. Perlindungan terhadap hak milik perorangan dan hak milik bersama atas tanah, air, atau laut pada batas-batas tertentu, serta hutan dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Kemudian, ada hak-hak dalam bidang kesenian, hak cipta intelektual, hak untuk memberikan pertimbangan kepada DPRP atau badan pemerintahan terkait dengan perlindungan hak-hak penduduk asli Papua.
Termasuk, hak memperhatikan dan menyalurkan aspirasi dan hak-hak lainnya yang harus diberikan perlindungan oleh pemerintah provinsi maupun pemerintah pusat.
Keempat, bendera lambang dan lagu. Papua diberi keleluasaan menentukan lambang-lambang daerahnya. Selain itu, Margaretha juga menyebut ada hak-hak dasar orang Papua yang mencakup enam dimensi pokok kehidupan.
Perlindungan hak hidup orang Papua di Tanah Papua. Perlindungan hak-hak orang Papua atas tanah dan air dalam batas-batas tertentu dengan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya.
Perlindungan hak-hak orang Papua untuk berkumpul dan mengeluarkan pendapat dan aspirasinya. Perlindungan hak-hak orang Papua untuk terlibat secara nyata dalam kelembagaan politik dan pemerintahan melalui penerapan kehidupan berdemokrasi yang sehat.
Perlindungan kebebasan orang Papua untuk memilih dan menjalankan ajaran agama yang diyakininya, tanpa ada penekanan dari pihak manapun. Perlindungan kebudayaan dan adat istiadat orang Papua.
Selain itu, hal-hal tersebut perlu dievaluasi, pakah sudah diterapkan atau berjalan dengan baik sehingga mendatangkan manfaat bagi orang Papua atau sebaliknya.
Oleh karena itu, ia berharap dialog mengenai masa depan Papua bersama orang asli Papua itu sendiri. Dia menampik anggapan orang Papua tak bisa diajak bicara karena latar belakang pendidikan atau alasan lainnya.
“Saya bertemu banyak sekali intelektual Papua luar biasa hebat. Semua bisa diajak bicara. Cuma masalahnya adalah apakah pada waktu itu diajak dilibatkan, diajak berbicara, itu menjadi masalah,” kata Margaretha. (ud/ed).